Belakangan ini, ada gangguan yang menyeruak, setiap kali menatap lini masa di portal berita maupun media sosial. Entah mengapa, kriminalitas sadis berulang dengan frekuensi yang tinggi. Sependek saya ketahui, sejak kasus Sambo yang viral itu, berbagai kasus kriminal hilir mudik dalam topik pemberitaan. Gangguan itu akhirnya menggumpal dalam sebuah tanya; rentetan ini bukankah merupakan fenomena yang mengkhawatirkan?
Ya, mungkin perasaan ini tersangkut pula di benak sebagian orang. Atmosfer yang terasa benar, mengapa akhir-akhir ini kriminalitas seolah begitu gampang kejadian? Lebih parahnya lagi, jenis kriminalitas yang terpampang tergolong brutal; mulai dari pembunuhan suami-istri, penganiayaan berat, pembunuhan berencana, hingga mutilasi.
Mungkin jika peristiwa ini berbilang satu atau dua kejadian, anomali bisa kita kedepankan sebagai jawaban. Tetapi, frekuensi kejadian yang begitu banyak ditambah lokasi kriminal yang beragam seolah membantah argumen tersebut. Kelihatannya ada sebuah fenomena yang mencemaskan. Pelatuk kriminalitas mulai semakin mudah untuk ditarik oleh ‘oknum masyarakat’.
Dalam perspektif negara hukum, jelas ini mencemaskan. Terutama bahwa ketertiban sebagai tujuan mendasar hukum mulai diobrak-abrik. Faktanya meskipun kriminalitas terikat pada kondisi dan subjek tertentu, antara pelaku dan korban, secara lebih luas kriminalitas berdampak pada rasa aman anggota masyarakat. Untuk itulah kriminalitas harus ditekan sedalam mungkin, dan fungsi itu seharusnya efektif bila hukum yang melaksanakan.
Akar kecemasannya mulai terlihat, bukan? Dengan regulasi pidana yang tersusun sedemikian lengkap dan institusi aparat penegak hukum yang memadai, ide kriminalitas ternyata tidak cukup kuat dibendung. Beberapa oknum masyarakat mulai cukup percaya diri memilih aksi kriminalitas untuk menuntaskan konfliknya. Jelas, ini alarm yang berbahaya.
Dalam sebuah masyarakat yang semakin mudah memutuskan berbuat kriminal, terselip pertanyaan, apakah otoritas hukumnya yang memudar ataukah masyarakat mulai terlalu kuat untuk dikendalikan oleh hukum?
Ada satu bagian yang cukup mengagetkan dari kasus yang baru-baru ini terjadi, yaitu penganiayaan yang dilakukan anak pejabat Direktorat Jenderal Pajak. Ketika penganiayaan itu terjadi, ada pekikan ucapan pelaku yang menyentak benak saya. Redaksinya ringkas, tapi gumpalan arogansinya begitu terasa: “Gue nggak takut anak orang mati.” Bayangkan, redaksi yang keluar dari seorang penduduk negara hukum bisa searogan itu.
Redaksi ringkas itu menandai adanya gangguan dalam kesadaran hukum. Entah ucapan tersebut lahir karena momennya yang emosional atau keluar dari kesadaran yang utuh, pada prinsipnya ucapan itu mengindikasikan tipisnya kesadaran hukum. Tidak adanya rasa takut berbuat kriminal, rasa takut dikenai proses hukum, dan rasa takut diganjar hukuman pidana, menjadi gejala serius bahwa hukum mulai tidak efektif mengendalikan tingkah laku anggota masyarakatnya.
Fakta berlanjut dan akhirnya akar arogansi itu terkuak. Melihat dari postur kekeluargaan si pelaku, ternyata ada keuntungan sosial-ekonomi yang dimiliki olehnya. ‘Keberanian’ untuk bengal sangat dimungkinkan bersumber dari kemampuan ekonomis orangtua yang sangat memadai. Privilese sebagai golongan kelas tinggi memberikan kepercayaan diri untuk mampu mengkompromikan aturan-aturan hukum. Faktor ini secara tidak langsung mengikis rasa kesadaran hukum.
Di samping kasus itu, ada pula kasus lain yang memberi kita pelajaran berbeda. Ternyata, permasalahan kesadaran hukum pun mencuat dari sisi kedewasaan berpikir. Kalau kasus sebelumnya digambarkan adanya kondisi sosial-ekonomi yang memberikan sebuah privilese berlebih, di sebagian kasus lain kita disuguhi brutalisme yang didasarkan pada pendeknya cara berpikir seseorang dalam memilih jalan keluar dari sebuah konflik. Kasus pembunuhan bos ayam goreng di Bekasi misalnya, di mana motif sakit hati akibat gaji yang dipotong sudah cukup menjadi alasan untuk membunuh dengan sadis.
Kondisi ini juga persis sama dengan yang terjadi di kasus Wowon serial killer Bekasi. Keinginan pintas memperoleh keuntungan materi melesat sebagai motif mengerikan untuk melakukan pembunuhan berantai. Dangkalnya cara berpikir ini membawa kita pada kondisi mengerikan, di mana potensi kejadian brutal sewaktu-waktu bisa menimpa siapa saja karena munculnya pihak yang tidak pikir panjang untuk memperoleh yang diinginkan. Meskipun untuk itu, pembunuhan harus dilakukan.
Berbagai dimensi tersebut secara sepintas memperlihatkan adanya problem dari sisi kesadaran berhukum. Timbulnya perasaan ‘tidak mengapa’ untuk berbuat kejahatan dan menipisnya sikap cermat dalam menuntaskan konflik merupakan indikasi terang akan rapuhnya sistem hukum. Dalam konteks ini yang jadi fokusnya ialah budaya hukum, satu dari tiga aspek utama pembentuk sistem hukum idea menurut Friedmann.
Masalahnya, budaya hukum sangat banyak dipengaruhi konteks sosial seseorang. Kepatuhan terhadap norma-norma hukum sangat bertitik tolak pada kualitas etis masyarakat. Semakin suatu masyarakat terdidik dalam sikap budaya, beriringan dengan itu kepatuhan hukum juga akan meningkat. Nah, dalam fenomena ini, yang terlihat adalah terjadinya erosi pada budaya hukum. Bandul masyarakat mulai bergerak pada akses untuk menarik pelatuk kriminalitas. Dengan begitu, ketertiban jelas dalam ancaman.
Dalam upaya menstabilkan ketertiban umum, kerja penegakan hukum harus diiringi dengan pembangunan budaya hukum masyarakat. Hal ini terlihat dari aspek sosiologis masyarakat yang mulai cenderung menabrak aturan-aturan hukum apabila kepentingan personalnya tidak dapat terpenuhi. Berpaku pada kondisi ini, mengefektifkan aturan-aturan hukum ternyata memerlukan tingkat kesadaran yang memadai dari subjek-subjeknya.
Tetapi apa sebetulnya yang dimaksud efektivitas aturan-aturan hukum? Secara ringkas, hukum dikatakan efektif apabila secara sistemik mampu membendung potensi pelanggaran dari anggota masyarakat. Ya, pada area ketertiban masyarakat, rentetan pasal-pasal serta hukuman yang dibentuk seharusnya dibaca sebagai instrumen untuk mengendalikan pola perilaku melanggar. Bukan hanya dokumen represi semata.
Artinya hukum diarahkan untuk berperan pada tataran preventif sekaligus represif. Daya paksa yang dimiliki oleh aturan hukum, sebetulnya diinginkan untuk membuat ‘oknum’ merasa takut apabila melanggar norma yang sudah ditetapkan bersama. Penegakan penting untuk menjaga supremasi dan konsistensi aturan hukum, tetapi lebih dalam lagi hukum diharapkan mampu mengontrol setiap risiko penyimpangan yang berpotensi dilakukan oleh subjek hukum.
Pendekatan budaya hukum dalam konteks ini penting untuk mengefektifkan tujuan di atas. Pembangunan regulasi yang tidak diimbangi peningkatan budaya hukum riskan menyebabkan disharmoni. Bagaimanapun, fenomena dalam masyarakat harus dibaca sebagai bahan dalam pembangunan sistem hukum yang ideal. Hukum, menurut Kelsen, objek utamanya terkait dengan perilaku manusia. Maka, mustahil menihilkan dinamika masyarakat sebagai referensi pengaturan.
Rumitnya, persoalan budaya itu kompleks. Kerja yang dibutuhkan dalam membangun budaya hukum jelas tidak sepihak. Kompleksnya persoalan di masyarakat, mulai dari aspek sosial, ekonomi, pendidikan, hingga psikologis setidaknya menjadi tolok ukur akan kompleksnya kebutuhan dalam upaya membangun kesadaran hukum yang ideal. Karena itulah, hukum yang ideal perlu dibangun secara koheren. Tentunya, oleh semua sub-sistem yang bekerja pada Negara Kesatuan Republik Indonesia.